Ada Pertanyaan dari orang yang jahil kepada seorang ulama:
" apakah seorang pejabat yg bersumpah diatas al-qur'an lalu korupsi bisa dinilai menistakan al-qur'an ? ( si jahil jawab menista katanya).
Jawab saya :
Tentang Sumpah,sangat berbeda dengan Penistaan.
Sumpah itu disebut ---> al-Yamiin.
Menista itu di sebut Istihza'.
Mengapa sumpah disebut al-Yamiin ? lantaran dahulu orang-orang jahiliyah apabila bersumpah, mereka saling membentangkan tangan kanannya (bersalaman) sebagai tanda penguat sumpah mereka.
Adapun secara istilah fiqih-nya, sumpah adalah menguatkan perkataan dengan menyebutkan sesuatu yang diagungkan dengan bentuk kalimat tertentu.
Ada definisi sumpah, yakni :
SUMPAH YANG SIA-SIA ---> disebut ---> laghwul yamiin adalah :
---> perkataan sumpah yang sering terucap hanya di mulut tetapi tidak ada maksud dalam hati untuk bersumpah.
Allah menghukumi perkataan seperti ini sebagai perkataan yang sia-sia, pelakunya tidak berdosa, serta tidak ada kewajiban membayar kafarah.
sebagaimana firman Allah;
Allah tidak akan menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak kamu maksudkan … (QS. ai-Baqarah[2]:225)
Maksudnya adalah perkataan seseorang (ketika ditanya, lalu menjawab): ‘Tidak, demi Allah’, atau ‘Benar, demi Allah’ (padahal dia tidak bermaksud untuk bersumpah).
Lalu,ada yang disebut --->>SUMPAH GHOMUS.
Yakni : ---> Sumpah yang diucapkan seseorang tetapi dusta untuk mengambil harta orang lain dengan cara dzalim. Dinamakan ghomus, karena asalnya adalah ghomisah yang artinya menenggelamkan,yaitu menenggelamkan pelakunya ke dalam dosa, lalu terus menenggelamkannya ke neraka.<=== ini termasuk pejabat yg disumpah tapi korupsi,mengambil duit rakyat.
MELANGGAR SUMPAH WAJIB MEMBAYAR KAFARAH.
Apabila seseorang bersumpah untuk melakukan sesuatu atau bersumpah untuk meninggalkan sesuatu, lalu dia menyelisihi apa yang telah disumpahkan, maka dia telah melanggar sumpahnya, dan barangsiapa yang melanggar sumpahnya, maka dia wajib membayar kafarah sumpahnya.
Atau boleh mendahulukan kafarah sebelum melanggar sumpahnya (mendahulukan kafarah sebelum melanggar sumpahnya dikenal dengan istilah ---> tahillah ,
apabila dia melihat bahwa yang lebih baik adalah sebaliknya.
Tahillah sama dengan kafarah hanya saja tahillah dilakukan sebelum melanggar sumpahnya, sedangkan kafarah dilakukan setelah melanggar sumpahnya, sebagaimana sabda Rasulullah kepada Abdurrahman bin Samurah;
“Apabila engkau bersumpah, lalu engkau melihat selainnya lebih baik dari yang engkau sumpahkan, maka tebuslah kafarah sumpahmu, dan lakukan apa yang lebih baik. Dalam satu lafadz (beliau mengatakan). Maka lakukan apa yang lebih baik dan tebuslah kafarah sumpahmu” (HR. Bukhori no. 6122, dan Muslim 4/11/116 dengan syarah Imam Nawawi).
SYARAT-SYARAT WAJIBNYA KAFARAH SUMPAH :
Membayar kafarah sumpah menjadi wajib apabila terpenuhi dua syarat berikut;
- Sumpah yang diucapkan adalah sumpah yang sah, yaitu yang memenuhi persyaratan sumpah ,
- Adanya pelanggaran dalam sumpahnya, seperti melakukan apa yang telah dia sumpahkan untuk ditinggalkan atau sebaliknya.
PERINCIAN KAFARAH SUMPAH :
Telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kafarah sumpah secara jelas dan terperinci, sebagaimana dalam firman-Nya :
Allah tidak akan menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah kamu yang tidak kamu maksudkan, akan tetapi Allah menghukum kamu dengan sumpah yang kamu sengaja, maka kafarah (penebus) sumpah itu (apabila kamu melanggar sumpahmu) adalah memberi makan sepuluh orang miskin dari makanan yang biasa kamu makan, atau memberi pakaian mereka (sebanyak sepuluh orang miskin), atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa yang tidak mampu (satu dari tiga hal di atas), maka hendaklah dia berpuasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kafarah sumpahmu jika kamu bersumpah (apabila kamu melanggarnya), dan jagalah sumpah-sumpahmu!(QS. al-Ma’idah [5]: 89)
Ayat di atas menjelaskan bahwa kafarah sumpah ada dua tahapan; (1) Dalam bentuk pilihan antara tiga hal, yaitu memberi makan sepuluh orang miskin, memberi pakaian sepuluh orang miskin, atau memerdekakan budak. (2) Apabila tidak mampu salah satu dari tiga hal pada tahap pertama, maka dia harus berpuasa selama tiga hari.
PERKATAAN INSYA’ DALAM SUMPAH
Barangsiapa bersumpah dengan nama Allah, kemudian dia mengatakan insya’ Allah, maka perkataan insya’ Allah bermanfaat dalam sumpahnya, sehingga dia tidak dikatakan melanggar sumpahnya apabila menyelisihi apa yang telah disumpahkan, hal ini lantaran dia telah menggantung-kan perkaranya kepada kehendak Allah, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam;
Barangsiapa bersumpah (dengan nama Allah), lalu mengucapkan insya’ Allah (apabila Allah menghendaki), maka dia tidak dianggap melanggar sumpahnya (apabila menyelisihi sumpahnya). (HR. Ahmad 2/309, Tirmidzi 2/146, Abu Dawud no. 3261, Ibnu Majah no. 2104, Ibnu Hibban no. 1185).
Bagaimana dengan Menista ?
Menista itu di sebut Istihza'.
Secara umum Istihza’ terbagi menjadi dua jenis. Yaitu :
---> Istihzaa’ sharih (penghinaan bersifat eksplisit).
Seperti perkataan orang-orang munafik terhadap sahabat-sahabat Nabi dahulu : Tidak pernah aku melihat orang yang lebih buncit perutnya, lebih dusta lisannya, dan lebih pengecut ketika bertemu musuh dibanding dengan ahli baca Al-Qur’an ini (yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat),
Menghina ayat ayat Al-Qur'an.
---> Istihza’ ghairu sharih (penghinaan bersifat implisit).
Jenis ini sangat luas dan banyak sekali cabangnya. Diantaranya adalah ejekan dan sindiran dalam bentuk isyarat tubuh. Misalnya, seperti menjulurkan lidah, mencibirkan bibir, menggerakkan tangan atau anggota tubuh lainnya. Dsbnya.
Istihza’ adalah tindakan yang sangat berlawanan dengan prinsip keimanan. Seseorang yang beriman tidak mungkin ada dalam hatinya muncul sikap pelecehan atau peremehan terhadap sesuatu yang berkaitan dengan agama.
Para ulama sepakat bahwa pelaku istihza’ fiddien (menghina agama) adalah kafir, keluar dari agama Islam dan hukumannya adalah dibunuh.
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok?.” Tidak usah kalian meminta maaf, karena kalian telah kafir sesudah kalian beriman. Jika Kami memaafkan segolongan daripada kalian (lantaran mereka tobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (QS. At-Taubah [9]: 65-66)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam bermuamalah dengan manusia beliau terkenal sosok yang paling pemaaf, namun sangat berbeda ketika ajaran Islam dilecehkan. Sifat beliau yang semula pemaaf berubah menjadi sangat marah ketika ajaran islam dilecehkan bahkan hampir semua orang yang melecehkan islam, beliau putuskan untuk dibunuh.
Dalam sebuah riwayat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabatnya, “Siapa yang bersedia membereskan Ka’ab bin Asyraf? Dia telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya!” Maka berdirilah Muhamamd bin Maslamah dan berkata, “Apakah engkau suka bila aku membunuhnya, Wahai Rasulullah? Beliau menjawab, “YA”.” (HR. Muttafaqun ‘Alaih)
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, “Bahwasannya ada seorang laki-laki buta yang mempunyai ummu walad (budak wanita yang melahirkan anak dari tuannya) yang biasa mencaci Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan merendahkannya. Laki-laki tersebut telah mencegahnya, namun ia (ummu walad) tidak mau berhenti. Laki-laki itu juga telah melarangnya, namun tetap saja tidak mau.
Hingga pada satu malam, ummu walad itu kembali mencaci dan merendahkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Laki-laki itu lalu mengambil pedang dan meletakkan di perut budaknya, dan kemudian ia menekannya hingga membunuhnya. Akibatnya, keluarlah dua orang janin dari antara kedua kakinya. Darahnya menodai tempat tidurnya.
Di pagi harinya, peristiwa itu disebutkan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan orang-orang dan bersabda:
“Aku bersumpah dengan nama Allah agar laki-laki yang melakukan perbuatan itu berdiri sekarang juga di hadapanku”.
Lalu, laki-laki buta itu berdiri dan berjalan melewati orang-orang dengan gemetar hingga kemudian duduk di hadapan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata:
“Wahai Rasulullah, akulah pembunuhnya. Wanita itu biasa mencaci dan merendahkanmu. Aku sudah mencegahnya, namun ia tidak mau berhenti. Dan aku pun telah melarangnya, namun tetap saja tidak mau. Aku mempunyai anak darinya yang sangat cantik laksana dua buah mutiara.
Wanita itu adalah teman hidupku. Namun kemarin, ia kembali mencaci dan merendahkanmu. Kemudian aku pun mengambil pedang lalu aku letakkan di perutnya dan aku tekan hingga aku membunuhnya”. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Saksikanlah bahwa darah wanita itu sia-sia.”(Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4361, An-Nasaa’iy no. 4070, dan yang lainnya, shahih)
Makna darahnya sia-sia adalah, tak boleh ada balasan atas pembunuhnya dan tak boleh dikenakan diyat (tebusan darah). Jadi darahnya halal alias boleh dibunuh.
Demikian juga sikap para sahabat pasca wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam menyikapi kasus penghinaan terhadap Islam, mereka tidak berbeda dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Laits bin Abi Sulaim meriwayatkan dari Mujahid bin Jabr berkata: “Seorang laki-laki yang mencaci maki Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dihadapkan kepada khalifah Umar bin Khathab, maka khalifah membunuhnya.
dalam hal ini, para ulama tidak ada yang berbeda pendapat bahwa orang yang mencaci maki Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika dia seorang muslim maka ia wajib dihukum mati. Perbedaan pendapat terjadi ketika orang yang mencaci maki adalah orang kafir dzimmi. Imam Syafi’i berpendapat ia harus dihukum bunuh dan ikatan dzimmahnya telah batal. Imam Abu Hanifah berpendapat ia tidak dihukum mati, sebab dosa kesyirikan yang mereka lakukan masih lebih besar dari dosa mencaci maki. Imam Malik berpendapat jika orang yang mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam adalah orang Yahudi atau Nasrani, maka ia wajib dihukum mati, kecuali jika ia masuk Islam. Demikian penjelasan dari imam Al-Mundziri. (‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud, 12/11)
Bagaimana jika Pelakunya Bertaubat?
Para ulama berselisih pendapat tentang orang-orang yang mencela Allah, Rasul-Nya dan kitab-Nya, apakah taubatnya diterima atau tidak ?
- Taubatnya tidak di terima. Pendapat ini dipegang oleh masyhur ulama hanabilah bahkan ia dibunuh dalam keadaan kafir, tidak disholatkan dan tidak dido’akan dengan rohmat, serta di kuburkan di suatu tempat yang jauh dari kuburan orang-orang muslim.
Karena istihza’ adalah bagian yang cukup serius dan tidak perlu taubat bagi pelaku tersebut.
- Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa taubatnya diterima jika kita mengetahui kejujuran taubatnya dan meyakini serta menetapkan bahwa dirinya salah. Hal ini didasari oleh keumuman dalil tentang diterimanya taubat. Firman Allah Ta’ala:
“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS.Az-zumar : 53)
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An Nisa: 48)
Orang yang menghina Allah diterima taubatnya dan tidak dibunuh, dalam hal ini bukan karena berkenaan dengan hak Allah atau hak rasul. Akan tetapi karena Allah mengkabarkan kepada kita dengan pemberian maaf-Nya bagi hamba-Nya yang bertaubat kepada-Nya, karena Allah Maha Pengampun atas segala dosa. Sedangkan orang yang menghina Rasul itu terklasifikasi dalam dua hal :
- Karena perkara syar’i, yaitu karena beliau sebagai utusan Allah Ta’ala. Dan dalam hal ini jika pelaku tersebut bertaubat maka taubatnya diterima.
- Karena perkara pribadi, yaitu karena ia adalah salah satu dari para rasul. Dan dari segi ini ia wajib dibunuh karena ini adalah hak rasul. Dan ia dibunuh setelah ia bertaubat meskipun ia adalah muslim.
Ada sebagian manusia yang mencela Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan taubatnya di terima tanpa dibunuh, tetapi ini adalah pada waktu Rasulullah masih hidup dan telah mengguggurkan haknya. Tapi setelah beliau meninggal, kita tidak tahu apakah beliau mengguggurkan haknya atau tidak. Maka kita hanya menjalankan apa yang kita pandang wajib terhadap hak orang yang menghina beliau.
Kemudian kalau ada yang mengatakan: “Kita kan gak tahu apakah Rasul memaafkan atau tidak, bukankah ini mewajibkan kita untuk bertawaquf?.” Maka kita katakan, tidak wajib untuk tawaquf, karena mafsadah (kerusakan) itu ada karena celaan. Bukankah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering memaafkan orang yang mencelanya? Ya, tetapi kalau itu terjadi ketika Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup akan menghasilkan maslahat dan ta’lif (melembutkan hati). Seperti beliau mengetahui para munafiqin dan beliau tidak membunuh mereka, supaya orang tidak mengatakan bahwa Muhammad telah membunuh sahabatnya. Ibnu Qoyyim berkata, ”Sesungguhnya hanya di masa Rasulullah saja tidak ada hukuman pembunuhan terhadap orang yang diketahui munafik.” Artinya setiap pelaku yang menghina ajaran islam akan dihukumi kafir.
Demikianlah sikap Islam ketika ada sebagian orang yang melecehkan ajarannya. Keputusannya tegas bahwa setiap orang yang melecehkan nilai-nilai syariat harus dihukumi mati. Karena bagaimanapun juga, penghinaan mununjukkan kemunafikan atau kebencian seseorang terhadap apa yang dilecehkannya. Dan sifat ini sangat berlawanan dengan prinsip keimanan itu sendiri. Sehingga jika ada orang muslim yang mengolok-olok ajaran Islam, maka dia dihukumi murtad bahkan para ulama sepakat bahwa orang tersebut tetap dihukumi kafir meskipun dia dalam keadaan jahil.Wallahu’alm bishawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar